––•-•r€âр€r•-•–– Administrator
Jumlah posting : 26 Points : 60 Join date : 22.05.12 Lokasi : *CYBER*
| Subyek: Hikayat gelap Thu Jun 14, 2012 1:50 pm | |
| LELAKI itu kembali datang menemui Iblis. Dengan asa yang terluka ia mengadu, dongkol berat karena dihalang-halangi untuk bertobat. Masjid, musala, dan tempat-tempat ibadah lain menutup pintu rapat-rapat. Para pemuka agama menatap curiga. Orang-orang menjauh, takut terciprat najis. Pekatnya masa lalu dan pengucilan panjangnya membuat mereka tak punya alasan untuk merasa nyaman di dekatnya.
Lelaki itu kembali mendatangi Iblis. Dan, penguasa kegelapan itu terkekeh saat ia tak cuma mengusung adu, tapi juga sesal. “Maaf,” katanya, “Aku kembali pulang ke hadapan Tuan. Menyesal telah mengumpat Tuan dalam salat-salatku, mengutuk Tuan di tiap doaku, mengamini sumpah-serapah para khatib kepada Tuan di mimbar-mimbar Jumat….”
Iblis kembali terbahak. Hati lelaki itu seketika menciut. Terbekap rasa bersalah yang teramat. Dulu ia pernah merasakan hal serupa saat Tuhan menegur dan menyapa di keheningan tobat dan munajatnya yang menggemuruh di pengasingan. Namun, ia merasa Tuhan terlalu cepat dirampas dari dekapan kala pengasingan berakhir dan ia kembali menapaki keriuhan dunia yang, celakanya, menyambut dengan cibir dan lengosan.
Ia bersikeras terus menyeru, tapi Tuhan telanjur dikunci di ruang-ruang masjid, dimonopoli kaum agamawan, dipatenkan oleh organisasi-organisasi agama, dan dijual murah oleh para politikus yang berebut mencipta gaduh di setiap tempat dan waktu.
Patah arang, ia teringat sahabat terbaik di kepekatan masa lalunya, Iblis. Dan, puji Tuhan, si sahabat menyambutnya dengan keramahan sempurna!
Sang sahabat masih saja tergelak. “Engkau tak perlu melawan takdirmu, wahai anak Adam,” ujarnya kemudian. Lembut, pelan, tapi tegas berwibawa. Ujarannya menyiratkan langgam lama dari masa lalu yang tercabik dan tersia-sia. Sorot mata penghulu para setan itu mendadak nanar berbalut amarah terpantik luka….
Dulu, seperti juga lelaki itu, Iblis pernah mencoba hal serupa: berniat tobat. Ia kunjungi para pemuka agama. Mohon petunjuk bagaimana cara agar tobat diterima dan segala dosa diampuni Tuhan.
Tentu saja mereka kaget. Juga bingung! Bila tobat Iblis diterima Tuhan dan beralih menjadi makhluk amat baik layaknya malaikat, pikir pendeta Kristen, lalu masihkah bermakna keyakinan akan adanya jalan keselamatan sebagai konsekuensi dosa warisan yang mesti diemban manusia gara-gara provokasi Iblis dulu?
Para ulama, kiai, ustadz, dan khatib pun surut membantu. Betapa tidak, jika tobat Iblis diterima, lalu apa guna perintah membaca doa-doa kutukan atas Iblis and his gang dan doa mohon perlindungan dari segala godaan setan yang terkutuk, a’udzubillahi minasy-syaithonir-rojim?
Nyaris sama, para rabi Yahudi pun berkeluh. Kalau Tuhan mengiyakan tobat Iblis, lalu di manakah lagi keistimewaan bangsa Yahudi sebagai satu-satunya umat pilihan Tuhan, satu-satunya umat yang diselamatkan di antara umat-umat lain yang dijungkalkan Iblis ke kubang kesesatan? Para pemuka agama-agama rata mengerutkan dahi. Bingung dan galau. Mereka mengkhawatirkan kekosongan peran antagonis, sponsor kejahatan, sepeninggal Iblis dan para setan. Tanpa kejahatan, kebaikan tak akan lagi bermakna. Bila Iblis tobat dan para setan sepakat insaf, dunia bakal praktis monoton. Penjara tutup, pengadilan kehabisan order, serta polisi, jaksa, dan hakim bakal pensiun masal. Neraka dan surga tak lagi relevan dalam memotivasi orang-orang untuk berbuat baik. Pendidikan agama diliburkan. Ujungnya, seluruh ajaran moral di berbagai kitab suci perlu direvisi. Dan kehadiran para pemuka agama sebagai suluh terang kehidupan bakal kehilangan relevansi plus signifikansi sosial dan teologis sekaligus!
Tak pelak, mereka pun kompak rapi-jali menolak niat baik Iblis itu. Semua jalan tobat diblokade, segenap jalur kesucian dipalang, dan pintu-pintu kebaikan rapat ditutup. Atas nama sunnatullah, hukum universal, Iblis mereka biarkan tetap terkunci dalam kegelapan abadi.
Dan, rutinitas pun berlanjut. Iblis terus dicerca, dipersalahkan, dihakimi di setiap tempat, waktu, momen, dan kesempatan. Diumpat dituding-tuding, bahkan ketika manusia memilih mandiri berbuat kemungkaran sekalipun ia tetap saja dimaki dicela sebagai biang dari segala keladi dan kerok. Tak hanya dikambinghitamkan dalam setiap kebalauan sosial, kekacauan politik, bangkrutnya kebudayaan, dan bencana yang susul menyusul, tapi juga dikutuk dalam aneka bentuk ritual yang rajin dilangsungkan para pecinta agama.
“Ketahuilah,” kata Iblis tersenyum, getir. “Aku sendiri lelah dan bosan menghuni kegelapan. Sepertimu, aku juga ingin berdamai dengan kebaikan dan mencoba menghayatinya. Tapi, Tuhan Yang Mahakasih telah memilihkanku takdir yang tak bisa kulawan. Ia telah memberikan makna bagi hidupku sebagai penguasa tunggal kejahatan. Aku lalu tersadar, justru melalui kejahatan itulah aku beribadah mengagungkan-Nya….”
Udara mengalir lambat. Lelaki itu melepas raga, menenggang ruh menguasai diri.
“Kukorbankan diriku lumat dalam laknat Tuhan hanya agar manusia mengerti dan mau belajar betapa beda putih dan hitam, antara cahaya dan kegelapan, iman dan ingkar, kebaikan dan kejahatan. Aku tak pernah dendam kepada moyangmu, Adam, yang telah membuat Tuhan murka dan mengusirku. Kuikhlaskan diriku untuk didamprat oleh seluruh umat manusia dengan membuat Adam terlempar ke bumi hanya agar manusia memahami pentingnya menjaga amanah….”
Waktu berhenti. Beku, membatu.
“Kehadiranku niscaya. Adaku dibutuhkan demi terejawantahnya kebaikan. Jiwaku yang pekat oleh kegelapan harus terus demikian justru untuk merefleksikan pendar cahaya Tuhan. Itu memang mau Tuhan karena hanya dengan begitu manusia mengenal makna kebaikan!”
Lelaki itu mengeras.
“Maka, camkan, wahai anak manusia, engkau tidaklah sendiri! Mendekatlah….”
Engkau tidak sendiri. Hmm. Dahi lelaki itu mengernyit. Berhari-hari setelah itu juga. Yang ia hanya paham-sadari cuma satu, ia tidak sendiri. Ada teman luka. Maka, ia biarkan diri terserap ke dalam Iblis, dan sebaliknya, menyerap tandas Iblis ke dalam diri. Ittihad, penyatuan entitas.
Begitulah. Ia pun rutin mengunjungi Iblis, ke setiap lipat kenyataan dan lekuk kehidupan di mana penggenggam kegelapan itu bertahta dan para setan menyelenggarakan pesta. Dan Iblis menyambutnya dengan penuh hormat. Para setan menjamunya dengan penuh takzim. Di tengah mereka ia justru diterima sebagai manusia, sungguh-sungguh manusia! Bersama mereka, lelaki itu menemukan nasib yang sama: makhluk terbuang, yang tercampak dari kehidupan.
Atas nama kesamaan nasib itulah, lelaki itu lalu memutuskan mengasah golok. Iblis telah memberinya daftar orang-orang yang mesti ditebas. Lengkap, karena semuanya karib Iblis sendiri. Ketika ditanya mengapa, Iblis menyeringai. Ia tak suka kemunafikan mereka. Iblis jahat dan tak pernah menolak disebut jahat. Ketika Tuhan mengusirnya dari surga ia menurut. Tapi, orang-orang di daftar kematian itu sudah jelas salah, mencederai amanah, tapi menolak terusir dari kehidupan, emoh masuk bui. Mereka menutupi belang dengan senyum. Menjungkirbalikkan kenyataan, menekuk kebenaran, menyatroni hukum, dan meringkus publik dalam kebosanan.
Lelaki itu tak paham. Ia terlalu lugu untuk memahami semuanya. Yang ia tahu gerbang kebaikan baginya telah tertutup, hanya satu pintu yang ia tahu masih terbuka lebar: kembali ke dekapan Iblis. Ia pun bertetap hati mengabdikan diri hingga ke setiap tarikan napas dan tetes liur Iblis. Digenggamnya erat daftar kematian itu dengan penuh haru. Semangat jihadnya meluap-luap. Ia tak tahu kenapa, kecuali bahwa ia harus berterima kasih karena Iblis memberinya ruang untuk tetap ada dan berarti.
Bismillah. Panasnya hari memberkati. Golok di tangan berkilau lapar. Ia pun mencipta teror. Menebarkannya di siang yang kerontang, di malam yang mencekam. Langit tersayat, menghitam. Bumi rekah tertetak. Aroma kematian merebak, memenuhi udara. Satu demi satu orang-orang yang dikenal akrab oleh publik, yang senyum tanpa dosa mereka kerap menghiasi headline media massa, terkapar dan memaksa yang lain sesak bernapas panik. Darah menyembur, menggenangi jalan-jalan. Orang-orang pun bersorak, dengan cemas-khawatir menjadi giliran berikutnya.
Keganasan membuncah. Mengepung hari, siang dan malam. Menyihir televisi dan koran-koran. Berita menguasai waktu, memuntahkan ngeri berdarah-darah. Layar kaca retak, koran-koran terbakar. Histeria menyapu hingga ke bilik-bilik paling rahasia. Para elite, seperti biasa, bertukar tanda. Publik turut gaduh berbicara tanpa lelah, warung-warung kopi tepi jalan tak lagi menghangatkan. Riuh terseret ke dalam kutub pro dan kontra. Dan sebuah lembaga keagamaan, akhirnya, memberikan fatwa!
Waktu berhenti seketika. Ruang membuntu….
Pagi yang basah, fajar belum menyentuh tanah. Jasad lelaki itu tergolek di perempatan lampu merah. Tubuhnya bersimbah darah. Dicincang sistematis seolah hendak menegaskan pesan. Golok yang masih di genggaman tinggal gagang, bilahnya patah berkeping lima. Saat matahari sepenggalah, kian banyak orang kaki lima merubung. Hikmat mengantar lelaki itu dijemput sepi.
Menjelang siang, kehidupan normal. Media kembali menghadirkan tayangan rutin, aneka senyum tanpa malu itu menyapa lagi. Orang-orang hanya terpekik. Mengumpat dalam sorak, tercekat tanpa suara. Abadi. | |
|